UNEXPECTED
RAMADHAN
Kumpulan
Kesalahanku
By
Saara Ameer
Di
sudut rumahku aku tersungkur tak berdaya, menangis seperti seorang anak kecil
yang ditinggalkan orang tuanya.
“Aku
merugi…aku merugi…ramadhan tiba”
******************************************************************************
Kesalahan
Pertama
18
Juni 2015 bertepatan dengan 1 Ramadhan 1436
H tetap tak bisa memhentikan segala aktifitas duniaku. Ujian Akhir
Semester, organisasi dan membantu penghasilan keluarga sebagai kewajiban
seorang anak. Tak kusangka aku akan menjalani kehidupan yang penuh dengan
kesibukan ini. Bukan sok sibuk, tapi aku hanya mengejar semua tugas sebagai
tanggung jawab dari konsekuensi pilihan yang aku pilih. Yah…aku memutuskan
untuk berorganisasi ketika aku sedang menjalani semester tigaku di kampus islam
negeri di Jakarta. Namun, disini aku merasa sedang menjalani kehidupan
sebenarnya, dimana aku belajar mengatur waktuku. Bangun di sepertiga malam
menyiapkan keperluan kuliahku sampai jam 10 malam aku baru mengistirahatkan
badanku.
Aku
tengok jadwalku bulan ini, akan ada banyak acara buka bersama dan santunan
tentu saja di bulan yang mereka bilang, bulan penuh barakah ini. Jika banyak
acara maka hal ini berbanding lurus dengan banyak pengeluaran. Aku
menghitung-hitung jumlah sisa simpanan uang sakuku, cukup, toh ada banyak
ta’jilan (bukaan menjelang maghrib) gratis yang disediakan di masjid pada bulan
ramadhan.
“Sara…kamu
ikut kan acara bakti sosial santunan
ke panti jompo dan panti anak-anak berkebutuhan khusus?” tanya Ira.
Pertanyaan
Ira membangunkanku dari lamunanku.
“iya…aku
ikut” segera jawabku.
Aku
segera menutup buku catatanku, mematikan laptop dan membereskan barang-barangku
ke dalam tas ranselku. Aku beranjak pulang dari tempat yang kusebut kantor
daripada tongkrongan, karena memang seperti ruangan yang kusinggahi sebelum
kosanku ketika kelasku telah selesai.
Hari
ini, hari ke-10 Ramadhan, ku lihat jalanan kampusku mulai sepi, sepertinya
sudah ada sebagian yang libur karena ujian akhir semester mereka telah usai. Ku
usap peluh keringat di keningku. Panas
sekali…batinku. Ku lihat matahari sedang memamerkan kegagahan cahayanya. Ku
telan air ludahku. Sesampainya di kosan aku segera mengambil wudhu melaksanakan
shalat dzuhur. Seusai shalat aku tertegun,
entah mengapa aku merasa shalatku kering, tak membuahkan perubahan
apapun di dalam diriku. Bukannya aku mengambil Quran, aku malah mengambil gadgetku,
mulai menuliskan kata-kata mutiara seputar kerohanian.
Aku
sangat senang menasihati orang lain, sehingga aku rajin mengikuti kajian-kajian
ilmu yang menambah wawasanku. Aku senang mendengar pujian orang lain atas
tulisan-tulisanku. Hal ini menjadi satu kesalahan fatal yang tak kuduga.
*******************************************************************************
*******************************************************************************
Kesalahan kedua…
Siapa
yang tak kenal dengan bulan Ramadhan? Meski bukan salah satu hari raya umat
Islam, semua orang mengenalnya bahkan non islam pun, terutama di negeriku ini. Ramadhan
yang penuh rahmat, ampunan dan barakah, orang bilang. Tentu saja barakah, pikirku. Para pedagang makanan kebanjiran
pelanggan di waktu menjelang maghrib, terkadang sampai membuat waiting list atau full reserved di resto karena tak dapat menampung lagi para
pelanggan. Tak hanya para pedagang makanan resto, begitupula pedagang baju, snack lebaran dan ta’jilan.
Aku
menutup filmku dan kuganti dengan tampilan tugasku di layar laptop. Waktu
menunjukkan jam 11 malam. Aku menguap menumpahkan semua rasa lelahku. Seharian
ini aku mengerjakan tugasku. Tak sempat kubuka Quranku, tak sempat kubaca buku
saku dzikirku, tak sempat ku tunaikan tahajudku dan shalat sunnah lainnya.
Bukankah Allah melipatgandakan amalan
di Bulan Ramadhan?
Aku
teringat akan ceramah yang barusan kudengar selesai shalat tarawih. Pak Ustadz
berbicara panjang lebar mengenai keistimewaan bulan Ramadhan. Ceramah yang
sering aku dengar ketika Ramadhan tiba. Tak henti-hentinya para ulama berucap
meningatkan akan kemuliaan Ramadhan, keberuntungan ahlun Lailatul-Qadr. Aku sudah hafal apa yang akan diucapkan.
Selepas dari itu semua, pernahkah hatiku terketuk ? tanya diriku.
Hampir
saja aku sudah terlelap dalam tidurku, deringan selulerku membangunkanku. Ku
lihat sebuah pesan masuk.
Sara…terimakasih
atas sarannya,
aku
merasa tenang di Ramadhan ini,
selamat
malam.
Ku tunggu pesan-pesanmu yang lain.
Aku
ingin berhijrah.
Aku tersenyum sinis membaca pesan Ira.
Dua hari yang lalu setelah acara bakti sosial ke panti jompo dan panti anak berkebutuhan
khusus dia meneteskan air mata, dia bercerita kepadaku tentang betapa tak
bersyukurnya dia hidup selama ini. Selalu mengeluh, tak pernah puas akan apa
yang ada, tak pernah ia berfikir bagaimana jika Allah mencabut satu kenikmatan saja
dalam tubuhnya, misal matanya yang indah namun tak mampu melihat, ia tidak akan
bisa melihat segalanya, tak mampu melihat warna dunia, tak mampu melihat wajah
orang di sekelilingnya, yang tersisa hanya kegelapan yang dilihat. Aku
menanggapinya dengan antusias.
“ kamu
tau,ketika penglihatanmu dicabut,
bukan saja satu kenikmatan yang diambil. Bisa melihat adalah kenikmatan yang
besar bukan satu kenikmatan. Apakah kamu pernah berpikir, bagaimana proses
kerja mata sehingga bisa melihat? Berapa sistem yang terlibat? Pantulan cahaya
yang memantul ke matamu, sistem syaraf responsif, kemudian sistem otakmu
memproses mengirimkan informasi apa yang telah diterima dari responsif yang
akan dikirimkan ke motorik, belum lagi jika yang kau lihat itu hal mengejutkan,
otakmu juga akan memproses kerja motorik dari anggota tubuhmu yang refleks.
Tentunya kamu tahu betapa sel di dalam sistem organ tubuhmu, bermilyar bahkan
tak dapat terhitung, semua sel itu bekerja sama agar sistem mampu berfungsi
sesuai dengan fungsinya, jika ada salah satu sel saja yang salah bergerak maka
sistem organmu pun akan rusak dan indra penglihatanmu terganggu. Jangan
menghitung kenikmatan sang Pencipta dengan angka satuan karena yang kau sebut
dari satu kenikmatan itu bisa terdiri dari banyaknya keharmonisan sistem
bergerak yang menimbulkan kenikmatan itu” tukasku panjang lebar.
Kulihat
Ira menunduk tak menatapku. Mungkin ia mulai merenungi kata-kataku. Aku pun
baru dapat sekejap tadi ketika Ira bertanya.
Aku menghembuskan nafas, aku memang
sudah tahu, aku paham teori kerohanian. Aku terlelap dalam tidurku. Teori itu
pun tak berhasil membagunkanku untuk tahajud.
********************************************************************************
********************************************************************************
Aku
berjalan di kesunyian. Aku tak tahu berada di mana, ku lihat semuanya gelap.
Tiba-tiba ada secercah cahaya bergerak ke arahku. Semakin dekat, ku lihat
segermbolan teman-temanku bergerak mendatangiku. Muka mereka terlihat cemas.
Sampai di depan mereka berjalan menembus tubuhku. Aku tergagap, apa yang
terjadi, seketika itu diriku sangat cemas. Ku lihat orang lain berjalan
mendekatiku. Muka orang itu sangat mirip dengan diriku. Ia berbaju hitam dengan
raut muka yang sangat putus asa. Ia berlari-lari seperti ketinggalan dengan
rombongan tadi. Begitupun dengannya, ia berlari menembusku. Aku kembali
tergagap, namun cepat kupanggil orang itu dengan namaku. Entah mengapa aku
terdorong memanggilnya dengan namaku.
Orang
itu melihatku. Ya…orang itu adalah diriku, dia menengok ke arahku dengan
tatapan marah. Aku ketakutan karena hanya aku dan dengannya di ruang gelap ini.
Tatapannya tak pernah berhenti ke arahku.
Aku
pun hilang, tiba-tiba aku berada di ruangan rumahku. Ku lihat keluargaku di
dalam rumah, mereka tak melihatku. Mereka berjalan menembusku. Ada apa ini? Aku berteriak, mengapa
semua berjalan menembusku. Aku mulai takut, jangan-jangan aku telah meninggal.
Aku menangis. Lalu ku dengar lantunan ayat suci al-Quran. Lantunan itu
menhentikan tangisanku namun tetap dengan ketakutanku. Ku tengok ke kamarku,
seseorang lain seperti diriku sedang membaca ayat suci al-Quran. Ia membacanya
dengan tenang. Sesekali ia diam, namun keseriusannya sedang menatap al-Quran
seperti sedang memahami kandungan ayat yang telah ia baca.
Perlahan
aku merasa tubuhku memanas. Kulihat api mulai menjalar dari ujung kakiku. Naik
terus menaik ke atas tubuhku. Aku berteriak minta tolong, namun tak ada yang
mendengarku. Ku lihat diriku yang tadi berpakaian hitam berada di sudut rumahku
sedang tersenyum puas ke arahku. Diriku terbang sampai di jalan lalu lintas.
Kulihat mobil berpacu cepat menuju ke arahku.
“AAAAAAAAAAAAAAAA…………………………..”
**********************************************************************************
**********************************************************************************
Aku
terbangun dari mimpiku. Keringatku bercucuran di pelipisku. Aku sadar ternyata
itu hanya mimpi. Namun ketakutan itu tetap ada dalam diriku. Aku maih merasa
sangat takut. Aku segera beranjak dari tempat tidurku, mengambil air wudhu
kemudian melakukan shalat tahajud dua raka’at. Setelah shalat aku menangis.
Aku menangis akan mimpiku. Seketika
teringat semua akan kesalah-kesalahanku. Aku segera membuka Al-Quranku. Aku
merenungi arti dari ayat-ayat yang kubaca.
Aku tertegun membaca arti surat ini,
Al-Anfal : 8
“Sesungguhnya
orang-rang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
Berapa kali aku mendengar lantunan
ayat suci Al-Quran dari surau-surau selama Ramadhan ini. Namun aku tak pernah
merasakan getaran ayat Quran itu. Teringat seorang temanku yang mualaf karena
tergetar hatinya ketika mendengar lantunan Quran. Aku menangis, betapa
meruginya aku. Aku yang sejak lahir beragama Islam, tak pernah merasakan hal
itu. Selama 6 tahun aku bersekolah di pesantren tak membuatku merasakan hal
itu. Betapa banyak aku kehilangan waktu yang seharusnya kuisi dengan hal yang
berharga selama bertahun-tahun.
Oh, betapa beruntungnya orang-orang
yang mendapat hidayahMu ya Rabb,,,,,, aku tahu bahwa hidayahMu hanya datang
kepada orang-orang yang Engkau Kehendaki. Apalah aku, jika Engkau tak
menghendakiku sebagai hambaMu yang beriman. Aku menagis, merenungi
kesalahan-kesalahan yang kuperbuat.
Aku ini telah sombong, dengan semua
pengetahuanku, aku tergiur akan pujian orang lain. Menasihati orang namun tak
bisa menasihati diri sendiri. Aku telah lupa bahwa dosa dilipatgandakan bagi
orang yang mengetahuinya namun tak menjalankannya. Oh, betapa malangnya diriku
ini yang sok suci menyebarkan pesan –pesan baik kepada orang lain.
Tubuhku tersujud di atas sajadah ini.
Di sudut rumahku aku menangis pilu. Ku dengar takbiran dari luar rumahku. Aku
menangis sejadi-jadinya. Satu hal lagi yang membuatku terjatuh bahwa aku
kehilangan Ramadhan ini. Ramadhan yang seharusnya bisa mengugurkan
kesalahan-kesalahanku, bisa menambah timbangan amal baikku, aku sia-siakan
begitu saja.
“Aku
merugi…aku merugi…ramadhan tiba”
Aku
berharap Ramadhan tak akan datang ketika imanku sedang lemah. Karena aku tak
ingin lagi kehilangan Ramadhan yang penuh maghfirah
ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar