Minggu, 19 Juli 2015

Sebuah Celoteh di Ramadhan 1436 H



UNEXPECTED RAMADHAN
Kumpulan Kesalahanku

By Saara Ameer
Di sudut rumahku aku tersungkur tak berdaya, menangis seperti seorang anak kecil yang ditinggalkan orang tuanya.
“Aku merugi…aku merugi…ramadhan tiba”
******************************************************************************
Kesalahan Pertama
18 Juni 2015 bertepatan dengan 1 Ramadhan 1436  H tetap tak bisa memhentikan segala aktifitas duniaku. Ujian Akhir Semester, organisasi dan membantu penghasilan keluarga sebagai kewajiban seorang anak. Tak kusangka aku akan menjalani kehidupan yang penuh dengan kesibukan ini. Bukan sok sibuk, tapi aku hanya mengejar semua tugas sebagai tanggung jawab dari konsekuensi pilihan yang aku pilih. Yah…aku memutuskan untuk berorganisasi ketika aku sedang menjalani semester tigaku di kampus islam negeri di Jakarta. Namun, disini aku merasa sedang menjalani kehidupan sebenarnya, dimana aku belajar mengatur waktuku. Bangun di sepertiga malam menyiapkan keperluan kuliahku sampai jam 10 malam aku baru mengistirahatkan badanku.
Aku tengok jadwalku bulan ini, akan ada banyak acara buka bersama dan santunan tentu saja di bulan yang mereka bilang, bulan penuh barakah ini. Jika banyak acara maka hal ini berbanding lurus dengan banyak pengeluaran. Aku menghitung-hitung jumlah sisa simpanan uang sakuku, cukup, toh ada banyak ta’jilan (bukaan menjelang maghrib) gratis yang disediakan di masjid pada bulan ramadhan.
“Sara…kamu ikut kan acara bakti sosial santunan ke panti jompo dan panti anak-anak berkebutuhan khusus?” tanya Ira.
Pertanyaan Ira membangunkanku dari lamunanku.
“iya…aku ikut” segera jawabku.
Aku segera menutup buku catatanku, mematikan laptop dan membereskan barang-barangku ke dalam tas ranselku. Aku beranjak pulang dari tempat yang kusebut kantor daripada tongkrongan, karena memang seperti ruangan yang kusinggahi sebelum kosanku ketika kelasku telah selesai.
Hari ini, hari ke-10 Ramadhan, ku lihat jalanan kampusku mulai sepi, sepertinya sudah ada sebagian yang libur karena ujian akhir semester mereka telah usai. Ku usap peluh keringat di keningku. Panas sekali…batinku. Ku lihat matahari sedang memamerkan kegagahan cahayanya. Ku telan air ludahku. Sesampainya di kosan aku segera mengambil wudhu melaksanakan shalat dzuhur. Seusai shalat aku tertegun,  entah mengapa aku merasa shalatku kering, tak membuahkan perubahan apapun di dalam diriku. Bukannya aku mengambil Quran, aku malah mengambil gadgetku, mulai menuliskan kata-kata mutiara seputar kerohanian.
Aku sangat senang menasihati orang lain, sehingga aku rajin mengikuti kajian-kajian ilmu yang menambah wawasanku. Aku senang mendengar pujian orang lain atas tulisan-tulisanku. Hal ini menjadi satu kesalahan fatal yang tak kuduga.
*******************************************************************************
Kesalahan kedua…
Siapa yang tak kenal dengan bulan Ramadhan? Meski bukan salah satu hari raya umat Islam, semua orang mengenalnya bahkan non islam pun, terutama di negeriku ini. Ramadhan yang penuh rahmat, ampunan dan barakah, orang bilang. Tentu saja barakah, pikirku. Para pedagang makanan kebanjiran pelanggan di waktu menjelang maghrib, terkadang sampai membuat waiting list atau full reserved di resto karena tak dapat menampung lagi para pelanggan. Tak hanya para pedagang makanan resto, begitupula pedagang baju, snack lebaran dan ta’jilan.
Aku menutup filmku dan kuganti dengan tampilan tugasku di layar laptop. Waktu menunjukkan jam 11 malam. Aku menguap menumpahkan semua rasa lelahku. Seharian ini aku mengerjakan tugasku. Tak sempat kubuka Quranku, tak sempat kubaca buku saku dzikirku, tak sempat ku tunaikan tahajudku dan shalat sunnah lainnya.
Bukankah Allah melipatgandakan amalan di Bulan Ramadhan?
Aku teringat akan ceramah yang barusan kudengar selesai shalat tarawih. Pak Ustadz berbicara panjang lebar mengenai keistimewaan bulan Ramadhan. Ceramah yang sering aku dengar ketika Ramadhan tiba. Tak henti-hentinya para ulama berucap meningatkan akan kemuliaan Ramadhan, keberuntungan ahlun Lailatul-Qadr. Aku sudah hafal apa yang akan diucapkan. Selepas dari itu semua, pernahkah  hatiku terketuk ? tanya diriku.
Hampir saja aku sudah terlelap dalam tidurku, deringan selulerku membangunkanku. Ku lihat sebuah pesan masuk.
Sara…terimakasih atas sarannya,
aku merasa tenang di Ramadhan ini,
selamat malam.
 Ku tunggu pesan-pesanmu yang lain.
Aku ingin berhijrah.
          Aku tersenyum sinis membaca pesan Ira. Dua hari yang lalu setelah acara bakti sosial ke panti jompo dan panti anak berkebutuhan khusus dia meneteskan air mata, dia bercerita kepadaku tentang betapa tak bersyukurnya dia hidup selama ini. Selalu mengeluh, tak pernah puas akan apa yang ada, tak pernah ia berfikir bagaimana jika Allah mencabut satu kenikmatan saja dalam tubuhnya, misal matanya yang indah namun tak mampu melihat, ia tidak akan bisa melihat segalanya, tak mampu melihat warna dunia, tak mampu melihat wajah orang di sekelilingnya, yang tersisa hanya kegelapan yang dilihat. Aku menanggapinya dengan antusias.
“ kamu tau,ketika penglihatanmu dicabut, bukan saja satu kenikmatan yang diambil. Bisa melihat adalah kenikmatan yang besar bukan satu kenikmatan. Apakah kamu pernah berpikir, bagaimana proses kerja mata sehingga bisa melihat? Berapa sistem yang terlibat? Pantulan cahaya yang memantul ke matamu, sistem syaraf responsif, kemudian sistem otakmu memproses mengirimkan informasi apa yang telah diterima dari responsif yang akan dikirimkan ke motorik, belum lagi jika yang kau lihat itu hal mengejutkan, otakmu juga akan memproses kerja motorik dari anggota tubuhmu yang refleks. Tentunya kamu tahu betapa sel di dalam sistem organ tubuhmu, bermilyar bahkan tak dapat terhitung, semua sel itu bekerja sama agar sistem mampu berfungsi sesuai dengan fungsinya, jika ada salah satu sel saja yang salah bergerak maka sistem organmu pun akan rusak dan indra penglihatanmu terganggu. Jangan menghitung kenikmatan sang Pencipta dengan angka satuan karena yang kau sebut dari satu kenikmatan itu bisa terdiri dari banyaknya keharmonisan sistem bergerak yang menimbulkan kenikmatan itu” tukasku panjang lebar.
Kulihat Ira menunduk tak menatapku. Mungkin ia mulai merenungi kata-kataku. Aku pun baru dapat sekejap tadi ketika Ira bertanya.
Aku menghembuskan nafas, aku memang sudah tahu, aku paham teori kerohanian. Aku terlelap dalam tidurku. Teori itu pun tak berhasil membagunkanku untuk tahajud. 
********************************************************************************
Aku berjalan di kesunyian. Aku tak tahu berada di mana, ku lihat semuanya gelap. Tiba-tiba ada secercah cahaya bergerak ke arahku. Semakin dekat, ku lihat segermbolan teman-temanku bergerak mendatangiku. Muka mereka terlihat cemas. Sampai di depan mereka berjalan menembus tubuhku. Aku tergagap, apa yang terjadi, seketika itu diriku sangat cemas. Ku lihat orang lain berjalan mendekatiku. Muka orang itu sangat mirip dengan diriku. Ia berbaju hitam dengan raut muka yang sangat putus asa. Ia berlari-lari seperti ketinggalan dengan rombongan tadi. Begitupun dengannya, ia berlari menembusku. Aku kembali tergagap, namun cepat kupanggil orang itu dengan namaku. Entah mengapa aku terdorong memanggilnya dengan namaku.
Orang itu melihatku. Ya…orang itu adalah diriku, dia menengok ke arahku dengan tatapan marah. Aku ketakutan karena hanya aku dan dengannya di ruang gelap ini. Tatapannya tak pernah berhenti ke arahku.
Aku pun hilang, tiba-tiba aku berada di ruangan rumahku. Ku lihat keluargaku di dalam rumah, mereka tak melihatku. Mereka berjalan menembusku. Ada apa ini? Aku berteriak, mengapa semua berjalan menembusku. Aku mulai takut, jangan-jangan aku telah meninggal. Aku menangis. Lalu ku dengar lantunan ayat suci al-Quran. Lantunan itu menhentikan tangisanku namun tetap dengan ketakutanku. Ku tengok ke kamarku, seseorang lain seperti diriku sedang membaca ayat suci al-Quran. Ia membacanya dengan tenang. Sesekali ia diam, namun keseriusannya sedang menatap al-Quran seperti sedang memahami kandungan ayat yang telah ia baca.
Perlahan aku merasa tubuhku memanas. Kulihat api mulai menjalar dari ujung kakiku. Naik terus menaik ke atas tubuhku. Aku berteriak minta tolong, namun tak ada yang mendengarku. Ku lihat diriku yang tadi berpakaian hitam berada di sudut rumahku sedang tersenyum puas ke arahku. Diriku terbang sampai di jalan lalu lintas. Kulihat mobil berpacu cepat menuju ke arahku.
“AAAAAAAAAAAAAAAA…………………………..”
**********************************************************************************
Aku terbangun dari mimpiku. Keringatku bercucuran di pelipisku. Aku sadar ternyata itu hanya mimpi. Namun ketakutan itu tetap ada dalam diriku. Aku maih merasa sangat takut. Aku segera beranjak dari tempat tidurku, mengambil air wudhu kemudian melakukan shalat tahajud dua raka’at. Setelah shalat aku menangis.
          Aku menangis akan mimpiku. Seketika teringat semua akan kesalah-kesalahanku. Aku segera membuka Al-Quranku. Aku merenungi arti dari ayat-ayat yang kubaca.
          Aku tertegun membaca arti surat ini, Al-Anfal : 8
“Sesungguhnya orang-rang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
          Berapa kali aku mendengar lantunan ayat suci Al-Quran dari surau-surau selama Ramadhan ini. Namun aku tak pernah merasakan getaran ayat Quran itu. Teringat seorang temanku yang mualaf karena tergetar hatinya ketika mendengar lantunan Quran. Aku menangis, betapa meruginya aku. Aku yang sejak lahir beragama Islam, tak pernah merasakan hal itu. Selama 6 tahun aku bersekolah di pesantren tak membuatku merasakan hal itu. Betapa banyak aku kehilangan waktu yang seharusnya kuisi dengan hal yang berharga selama bertahun-tahun.
          Oh, betapa beruntungnya orang-orang yang mendapat hidayahMu ya Rabb,,,,,, aku tahu bahwa hidayahMu hanya datang kepada orang-orang yang Engkau Kehendaki. Apalah aku, jika Engkau tak menghendakiku sebagai hambaMu yang beriman. Aku menagis, merenungi kesalahan-kesalahan yang kuperbuat.
          Aku ini telah sombong, dengan semua pengetahuanku, aku tergiur akan pujian orang lain. Menasihati orang namun tak bisa menasihati diri sendiri. Aku telah lupa bahwa dosa dilipatgandakan bagi orang yang mengetahuinya namun tak menjalankannya. Oh, betapa malangnya diriku ini yang sok suci menyebarkan pesan –pesan baik kepada orang lain.
          Tubuhku tersujud di atas sajadah ini. Di sudut rumahku aku menangis pilu. Ku dengar takbiran dari luar rumahku. Aku menangis sejadi-jadinya. Satu hal lagi yang membuatku terjatuh bahwa aku kehilangan Ramadhan ini. Ramadhan yang seharusnya bisa mengugurkan kesalahan-kesalahanku, bisa menambah timbangan amal baikku, aku sia-siakan begitu saja.
“Aku merugi…aku merugi…ramadhan tiba”
          Aku berharap Ramadhan tak akan datang ketika imanku sedang lemah. Karena aku tak ingin lagi kehilangan Ramadhan yang penuh maghfirah ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar